Beranda | Artikel
Dua Jenis Sunnah Nabi: Sunnah Sharihah dan Sunnah Dhimniyyah
Selasa, 6 Januari 2015

Syaikh Dr. Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmul hafizhahullah mengatakan:

Ada dua jenis sunnah (ajaran) Nabi, yaitu:

Jenis pertama, sunnah sharihah (sunnah yang gamblang atau jelas). (Misalnya) jika disebutkan di dalam hadits, ”Rasulullah berkata…”; “Rasulullah melakukan…”; “Dulu Rasulullah demikian…”; atau “Hal ini terjadi bersama Rasulullah…” Maka disandarkannya hal-hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan sunnah sharihah (jelas asalnya dari Rasulullah, pen.).

Jenis ke dua, sunnah dhimniyyah (sunnah yang tersembunyi). Yaitu sunnah yang tidak secara langsung menyebutkan bahwa hal itu berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi hukum perkara-perkara tersebut terangkat menjadi sunnah marfu’ah sharihah (marfu’ artinya terangkat, yaitu perkataan atau pendapat sahabat, namun terangkat dianggap sebagai perkataan atau pendapat yang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen.).

Sunnah dhimniyyah ini mencakup beberapa jenis sunnah berikut ini:

  • Perkataan sahabat (tentang sesuatu) yang bukan menjadi ranah (ruang) untuk dilogika oleh akal manusia atau bukan ranah untuk (diperbolehkan) berijtihad dalam perkara tersebut. Karena selama akal tidak bisa dijadikan sebagai sandaran atau tidak boleh berijtihad di dalamnya, maka darimana sumber atau darimana sahabat mengambil pendapat tersebut? Tentu mereka mengambilnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Perkataan sahabat yang tidak diingkari oleh para sahabat yang lainnya. Maka hal ini hukumnya sama dengan hukum sunnah marfu’ah. Sebagian ulama berkata bahwa ini termasuk “ijma’ sukuti” (sukut artinya diam, sehingga maksudnya adalah ijma’ atau kesepakatan karena diamnya para sahabat terhadap masalah tersebut atau tidak diingkari oleh mereka, pen.). Karena jika seorang sahabat mengatakan sesuatu hal dan sahabat yang lain diam tidak melakukan pengingkaran, maka hal ini adalah dalil bahwa perkataan sahabat tersebut adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baik hukumnya sunnah sharihah atas dasar hal tersebut, atau menjadi hujjah (dalil syar’i) karena adanya kesepakatan para sahabat. Maka jadilah hukumnya menjadi ijma’ sukuti.
  • Perkataan sahabat tentang asbabun nuzul (sebab atau latar belakang turunnya ayat Al Qur’an, pen.). Dalam asbabun nuzul, maka hal ini hukumnya juga menjadi sunnah marfu’ah. Jika cara pengungkapan yang digunakan tentang sebab turunnya suatu ayat adalah ungkapan yang jelas (gamblang), seperti perkataan,”Terjadi demikian, kemudian Allah menurunkan ayat demikian”, maka hal ini merupakan penegasan bahwa kejadian ini (benar-benar) terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. 
  • Perkataan sahabat tentang penjelasan suatu hadits yang dia riwayatkan sendiri. Jika seorang sahabat mendengar hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia mengetahui indikasi-indikasi yang terkandung dalam hadits tersebut. Maka penjelasan sahabat atas hadits yang dia riwayatkan sendiri dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didahulukan atas perkataan sahabat lainnya (yang tidak meriwayatkan atau mendengar langsung hadits tersebut, pen.). Bahkan hukum asalnya adalah bahwa pemahaman atau makna yang menafsirkan hadits tersebut (yaitu pemahaman sahabat yang meriwayatkan hadits, pen.) mengalahkan dugaan (dzon) yang disimpulkan dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (oleh sahabat yang tidak meriwayatkan hadits, pen.).
  • Yang dijelaskan oleh sahabat bahwa hal itu adalah Al Qur’an, namun menyelisihi apa yang tercetak dalam mushaf Al Qur’an. Maka keadaan (hukum) yang terendah adalah bahwa hal itu berita dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ulama tafsir meng-istilahkannya dengan “qiro’ah tafsiriyyah”. Ulama qiro’ah meng-istilahkannya dengan “qiro’ah syadzdzah”.
  • Perkataan sahabat tentang tafsir Al Qur’an. Jenis ini termasuk dalam sunnah dhimniyyah, yang tersembunyi (tidak diketahui) dari benak sebagian orang, akan tetapi para ahli hadits memperhatikannya. Oleh karena itu, anda lihat ketika mereka (ahli hadits) menyusun berbagai juz hadits (yang mengumpulkan riwayat dari sahabat tertentu atau tentang tema tertentu, pen.) mereka mendatangkan hadits-hadits marfu’ atau atsar-atsar mauquf (perkataan sahabat yang tidak terangkat derajatnya menjadi perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen.) Hal ini tidak terlepas dari kemungkinan bahwa hadits-hadits tersebut memang mengandung dalil tertentu atau isyarat bahwa hal itu termasuk salah satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, hendaknya para penuntut ilmu memperhatikan segala sesuatu yang datang dari para sahabat tentang berbagai masalah ilmu. Sikap seperti ini masih dinilai kurang karena beberapa hal berikut ini:

  1. sebagian besar mereka belum perhatian tentang shahih dan dha’ifnya atsar-atsar tersebut.
  2. mereka tidak meniliti perkataan sahabat dalam masalah tertentu.
  3. tergesa-gesa menyandarkan perkataan tersebut kepada sahabat tertentu, tanpa meneliti apakah ada perkataan yang lain ataukah tidak.

Dan terakhir mengenai perkataan sahabat yang bisa digunakan sebagai dalil. Jika terdapat perselisihan pendapat di antara mereka dalam memahami suatu ayat atau hadits, maka tidak boleh membuat-buat suatu pendapat yang keluar dari pendapat mereka.

[selesai perkataan Syaikh Muhammad Bazmul]

**

Selesai diterjemahkan di pagi hari, Masjid Nasuha ISR, 14 Rabiul Awwal 1436

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Diterjemahkan dari: http://mohammadbazmool.blogspot.ae/2014/10/blog-post_41.html

Artikel Muslim.Or.Id

🔍 Cara Solat Duduk, Istirja Dalam Islam, Bacaan Sholat Dan Dzikir, Perasaan Cinta Dalam Islam


Artikel asli: https://muslim.or.id/24143-dua-jenis-sunnah-nabi-sunnah-sharihah-dan-sunnah-dhimniyyah.html